KENAPA TRAH MANGIR TIDAK BERONTAK KE MATARAM.....?!
> Karena tahu bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir yang sebenarnya bukanlah Panembahan Senopati....
Kisah dimulai ketika Panembahan Senopati sedang merintis berdirinya Kraton Mataram di Kotagede, Jogjakarta. Ketika sedang sedang babat-babat hutan ke arah Barat, ternyata di wilayah Mangir sudah ada semacam wilayah kekuasaan yang sudah tertata rapi, tanahnya subur gemah-ripah loh jinawi dan kehidupan rakyatnya tentram damai. Itulah tanah perdikan Mangir yang dipimpin seorang anak muda sakti bernama Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang masih keturunan Prabu Brawijaya V asal Majapahit.
> Karena tahu bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir yang sebenarnya bukanlah Panembahan Senopati....
Kisah dimulai ketika Panembahan Senopati sedang merintis berdirinya Kraton Mataram di Kotagede, Jogjakarta. Ketika sedang sedang babat-babat hutan ke arah Barat, ternyata di wilayah Mangir sudah ada semacam wilayah kekuasaan yang sudah tertata rapi, tanahnya subur gemah-ripah loh jinawi dan kehidupan rakyatnya tentram damai. Itulah tanah perdikan Mangir yang dipimpin seorang anak muda sakti bernama Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang masih keturunan Prabu Brawijaya V asal Majapahit.
Insting Panembahan Senopati adalah ingin menaklukkan kadipaten tersebut untuk dijadikan satu dengan Mataram yang sedang dibangun olehnya. Segala macam cara dicoba untuk menghadapkan Ki Ageng Mangir ke Kraton Mataram, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya Patih Mondoroko yang mengusulkan agar Ki Ageng Mangir ditarik saja ke dalam, menjadi bagian dari barisan kekuatan Mataram-Mangir. Dengan cara merangkul Ki Ageng Mangir, diyakini kekuatan Mataram akan menjadi berlipat ganda.
Atas usulan Patih Mondoroko tersebut akhirnya dibuat strategi halus untuk membujuk Ki Ageng Mangir. Karena yang akan dihadapi adalah orang sakti dan berwibawa, maka tak tanggung-tanggung Panembahan Senopati menugasi puteri sulung kesayangannya, Puteri Pembayun. Singkat cerita, Ki Ageng Mangir dan Puteri Pembayun pun saling jatuh cinta dan tentu saja Puteri Pembayun diam-diam minta izin ke ayahandanya. Sebagai murid Sunan Kalijaga langsung, sangat mustahil kalau Panembahan Senopati mengizinkan puteri tercintanya menikah dengan seorang non Muslim. Maka yang segera terjadi adalah proses dakwah Mataram melalui gelar kesenian di wilayah Mangir di mana Puteri Pembayun dijadikan sebagai tokoh utama yang berperan sebagai penari utama dan waranggono. Tanpa diceritakan secara detil akhirnya Ki Ageng Mangir pun masuk Islam dan diizinkan menikah dengan Puteri Pembayun. Tentu saja izin Panembahan Senopati pada titik ini diberikan secara diam-diam lewat Patih Mondoroko.
Proses pengislaman Ki Ageng Mangir adalah proses panjang yang disetujui dan direstui sepenuhnya oleh Panembahan Senopati dan berakhir dengan pernikahan resmi antara Puteri Pembayun dengan Ki Ageng Mangir. Sejak menikah dengan Puteri Pembayun, maka Ki Ageng Mangir Wonoboyo III adalah menantu syah Panembahan Senopati dan menjadi pewaris tahta Mataram berikutnya. Hal inilah yang secara diam-diam menyulut kekawatiran dari para adipati dan para oknum intern Kraton Mataram yang tidak senang Ki Ageng Mangir menjadi menantu resmi Panembahan Senopati. Diam-diam mereka menyusun strategi untuk menyingkirkan Ki Ageng Mangir. Kelompok mereka inilah yang kemudian menghasur Raden Ronggo, putera Panembahan Senopati yang lain yang kebutulan memang suka berkelahi dan punya sifat yang kurang baik, mudah dihasut. Maka mereka pun menyusun siasat untuk melenyapkan Ki Ageng Mangir dengan memanfaatkan Raden Ronggo yang tentu saja bisa bebas keluar-masuk kraton Mataram.
Syahdan waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ki Ageng Mangir dan Puteri Pembayun datang ke Kraton Mataram untuk sungkem kepada sang mertua, Pangembahan Senopati. Dipilihlah kesempatan ketika di tengah-tengah acara pasewakan Ki Ageng Mangir mohon izin untuk menunaikan sholat. Oleh sang mertua dipersilahkan dia sholat di ruang sholat pribadi Panembahan Senopati. Ketika sedang sujud sholat itulah, tiba-tiba Raden Ronggo masuk dan menghantamkan batu besar yang disebut sebagai batu gantheng, ke belakang kepala Ki Ageng Mangir. Dan gugurlah Ki Ageng Mangir di tempat itu.
Konon batu pipih hitam setinggi 40 cm yang selama ini dikatakan sebagai alas singgasana Panembahan Senopati tempat di mana kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan, ternyata adalah alas lantai sholat di mana biasanya Panembahan Senopati sholat. Tidaklah mungkin singgasana raja berupa batu pipih hitam setinggi 40 cm itu. Dan diyakini bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir bukan Panembahan Senopati. Sebagai seorang raja, tidaklah layak mengingkari janjinya menerima Mangir sebagai menantu dihadapan pisowanan agung. Pembunuhan Ki Ageng Mangir pastilah dilakukan oleh orang lain. Patut diduga dilakukan oleh Raden Ronggo, putera Panembahan Senopati yang memang sering bertindak kontroversial. Apalagi setelah dihasut oleh para pembangkang diam-diam tersebut, kemungkinan besar Raden Ronggo takut "kalah bersaing" dengan kakak iparnya yang katanya sakti luar biasa itu.
Pembunuhan Ki Ageng Mangir dilakukan ketika sedang sholat di atas watu Gilang tersebut. Hal ini mengindikasikan hubungan Ki Ageng Mangir dengan Panembahan Senopati sangat dekat. Bisa dimaklumi karena Puteri Pembayun adalah puteri sulung kesayangan Panembahan Senopati. Pembunuhan Ki Ageng Mangir yang kemungkinan dilakukan oleh Raden Ronggo dengan menghantamkan watu gatheng pada tengkuk Ki Ageng Mangir ketika sedang sujud bersholat. Raden Ronggo membunuh Ki Ageng Mangir karena dipengaruhi oleh para adipati yang diam-diam sedang melakukan perlawanan pada Panembahan Senopati. Dengan memanas-manasi Raden Ronggo bahwa Ki Ageng Mangir jauh lebih sakti darinya, sangat mudah sekali membuatknya terhasut.
Sedangkan berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati di singgasananya adalah upaya untuk meredam kemarahan kepada Raden Ronggo dan komplotannya. Namun strategi yang bijaksana tersebut belakang hari menjadi terasa sangat tendensius dan mengaburkan kisah sebenarnya. Termasuk kisah keberhasilan pengislaman Ki Ageng Mangir oleh Roro Pembayun dibantu Patih Mondoroko atau ki Juru Mertani. Inilah alasan mengapa para orientalis Belanda termasuk HJ De Graff membiarkan cerita sejarah ini berkembang. Kemungkinan besar dengan pertimbangan agar ada asumsi bahwa Panembahan Senopati membunuh Ki Ageng Mangir adalah bukti sikap pengecutan dan bengis Panembahan Senopati. Hal ini diperlukan untuk keberhasilan penerapan politik "divide et empera" alias politik adu domba penjajah Belanda pada saat itu.
Akhirnya atas perintah Panembahan Senopati diam-diam, tak lama setelah itu Raden Ronggo terbunuh secara misterius. Ada dugaan Raden Ronggo terbunuh oleh tombak kyai Baru Klinting milik Ki Ageng Mangir dan dilakukan oleh salah satu kerabat Mangir yaitu Patih Rojoniti. Pembalasan itu terjadi di luar benteng kraton Kotagedhe dan diam-diam direstui oleh Panembahan Senopati. Pada point inilah tampaknya para kerabat keturunan Ki Ageng Mangir memahami sebab-sebab sebenarnya kematian pemimpin mereka itu. Maka tidaklah mengherankan kalau selama ini tidak pernah timbul gejolak di wilayah Mangir maupun di Mataram yang lain. Ternyata mereka sudah diberi kesempatan untuk membalas kematian Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati pun terhindar dari berbagai masalah lain yang mungkin dilakukan oleh Raden Ronggo yang memang sudah diketahui bertabiat kurang baik itu.
Sementara itu pada situs sejarah peninggalan Mangir berupa arca dan candi hindu yang menunjukkan bahwa dulu-dulunya Ki Ageng Mangir adalah seseorang yang menganut agama Hindu. Ini memperjelas keberhasilan proses pengislaman Ki Ageng Mangir secara natural, sebagaimana mengikuti jejak putra-putri Brawijaya yang lain. Di sisi lain, Puteri Pembayun sebagai pahlawan Mataram, lalu diungsikan ke tanah Pati, tempat kakeknya Ki Ageng Penjawi. Di tempat itu diharapkan Puteri Pembayun bisa pelan-pelan mengobati luka hatinya akibat pembunuhan Ki Ageng Mangir suaminya. Selanjutnya Puteri Pembayun melahirkan putera satu-satunya Ki Agen Mangir dan diberi namaa Bagus Wonoboyo. Setelah tumbuh menjadi besar, Bagus Wonoboyo diasuh oleh pangeran Benawa putera Jaka Tingkir di Kendal Jawa Tengah.
Di sini terbukti bahwa kerabat Mataram selalu melindungi keberadaan Puteri Pembayun dan putranya itu di mana pun mereka berada. Bahkan Puteri Pembayun dan Bagus Wonoboyo terbukti ikut dilibatkan bertempur di Palagan Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso (tokoh kesayangan Sultan Agung). Juga pertempuran di palagan gerilya Pangeran Jayakarta melawan penguasa Belanda, JP Coen di Batavia. Pasukan Mataram di Batavia berbasis di Kali Cikeas/ kali Sunter Tapos Depok 1620. Palagan terakhir adalah palagan akbar Benteng Batavia VOC 1628 - 1629. (Kutipan dari Blog Trah Mangir di Tapos)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar